Powered By Blogger

Sabtu, 03 September 2011

Manaqib KH. Ali Ma'sum


K.H. Ali Ma’shum Perintis Pesantren Al Qur'an di Indonesia



K.H. Ali Ma’shum dilahirkan di Lasem kota mana terletak di pesisir utara pulau Jawa masuk wilayah kabupaten Rembang Jawa Tengah. Ia lahir pada 2 Maret 1915 dari buah pernikahan K.H. Ma’shum dan Ny. Nuriyah. Kedua orang tuanya merupakan figur dan tokoh agama kharismatik yang selain disegani juga menjadi tempat pengaduan persoalan hidup masyarakat kebanyakan. (Muhdlor, 1989: 4)

Kyai Ali [kecil] lahir di tengah gencarnya kaum pembaharu melakukan serangan terhadap peranan pondok pesantren yang identik dengan institusi pendidikan tradisional. Kendati demikian, ayahnya tidak mengarahkan Kyai Ali untuk menjauhi pesantren. Bahkan ia dididik agar semakin mencintai pesantren. Maklum, ayahnya sendiri merupakan produk pesantren. Kakeknya, K.H. Ahmad Abdul Karim, juga demikian. Sehingga nyaris riwayat pendidikan Kyai Ali, juga seluruh saudaranya, tidak pernah mengenyam pendidikan formal, baik yang didirikan oleh Belanda, Jepang atau kelompok masyarakat Indonesia sendiri. (Muhdlor, 1989: 5)

Di bawah asuhan langsung ayahnya, Kyai Ali menerima pendidikan. Semula, ayahnya menghendaki Kyai Ali menjadi seorang ahli ilmu Fiqih. Karenanya, setiap hari Kyai Ali selalu diajari kitab-kitab fiqih. Namun kecenderungannya ternyata berseberangan dengan keinginan ayahnya. Kyai Ali justru lebih senang mempelajari kitab-kitab nahwu dan sharaf.

Setelah beranjak remaja, Kyai Ali dikirim ayahnya untuk berguru kepada K.H. Dimyathi Tremas pada tahun 1927. Di Tremas, selama tiga tahun tidak pernah pulang sekalipun ke Lasem. Hal ini dilakukan Kyai Ali untuk membuktikan tradisi bahwa seorang santri yang selama tiga tahun pertama sejak kedatangannya tidak pulang kampung merupakan pertanda kesuksesan mencari ilmu dan kelak akan menjadi ulama besar.

Di Tremas, Kyai Ali mempelajari banyak kitab kuning. Di antaranya Fathul Mu’in, Tafsir Jalalain, Alfiyah ibn Malik, Minhajul Qawim dan Sahih Bukhari Muslim. Meski awalnya Kyai Ali ingin menghuni pondokan sebagaimana santri pada umumnya namun atas perintah K.H. Dimyathi, ia disuruh tinggal di ndalem. Akhirnya Kyai Ali tinggal sekamar dengan Gus Muhammad, putra K.H. Mahfudz al-Tarmasyi kakak K.H. Dimyathi.

Kyai Ali memang cerdas dan cepat menguasai materi-materi pelajaran yang diajarkan padanya. Karena itulah oleh K.H. Dimyathi, Kyai Ali dipercaya untuk ikut membantu mengajar para santri. Dari sinilah karir intelektualitas dan popularitas Kyai Ali perlahan-lahan menanjak. Ia disegani tidak hanya karena putra dari seorang ulama besar dan kharismatik, tetapi lebih-lebih karena kekuatan pribadi dan pengusaan ilmunya yang luas. Bakat-bakat keulamaan sudah mulai tampak dari sini. (Muhdlor, 1989: 9)

Hal ini terlihat dari semangat membaca yang begitu menggelora. Kyai Ali tidak saja membaca kitab-kitab yang diajarkan kyainya atau kitab-kitab klasik karya ulama salaf, kitab-kitab para pembaharupun habis dilahapnya. Misalnya, Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridla, Tafsir al-Maragi karya Musthafa al-Maraghi dan Fatawa Ibn Taimiyyah karya ibn Taimiyyah. (Muhdlor, 1989: 10) Kitab-kitab yang “masih asing” di dunia pesantren itu diperoleh Kyai Ali, di antaranya, dari murid-murid ayahnya, juga dari keluarga besar Tremas yang datang dari Mekah.

Kegemaran membaca ini menjadikan Kyai Ali sebagai seorang pemuda yang meski masih belia namun memiliki wawasan pengetahuan yang menua. Di antara sekian banyak ilmu yang dipelajari, agaknya ilmu Tafsir al-Qur’an dan ilmu Bahasa Arab sangat menyita perhatiannya. Fakta inilah yang kelak mengantarkan Kyai Ali tersohor di antara sedikit ilmuwan Indonesia yang fasih dan kompeten di bidang bahasa Arab. Sehingga banyak orang menyebut Kyai Ali sebagai “Munjid berjalan.”

Pada tahun 1932 di Tremas didirikan sebuah madrasah yang sebelumnya merupakan hal tabu di pesantren. Selain Gus Hamid Dimyathi, salah satu putra K.H. Dimyathi, Kyai Ali disebut-sebut juga sebagai pelopor modernisasi pesantren Tremas tersebut. Kendati berat hati akhirnya K.H. Dimyathi merestui berdirinya madrasah di pesantren Tremas. (Muhdlor, 1989: 11) Keberanian Kyai Ali menyuntikkan perubahan menjadi poin tersendiri bagi kepribadiannya. Ke depan, Kyai Ali memang identik dengan seorang yang selalu gelisah dan tampil dengan ide-ide pembaruan yang segar. Setelah delapan tahun di Tremas, Kyai Ali berpamitan untuk kembali ke Lasem. Madrasah diserahkan kepada Gus Hamid Dimyathi saat menggantikan ayahnya, K.H. Dimyathi, yang wafat dua tahun setelah madrasah didirikan, tahun 1934.

Sekembalinya ke Lasem, Kyai Ali mencurahkan segenap tenaga untuk membantu mengajar di pesantren ayahnya. Di samping mengajar beberapa disiplin ilmu, Kyai Ali sangat intens mengajarkan bahasa Arab dan Tafsir al-Qur’an. Ali membawa angin segar bagi pembaruan di pesantren Lasem tersebut. Pada tahun 1938 Kyai Ali menyunting Hasyimah puteri ulama masyhur di bidang al-Qur’an, K.H. Munawir, dari Krapyak Yogyakarta. (Muhdlor, 1989: 15) Hanya berselang beberapa hari saat mereguk manisnya malam pengantin baru, Kyai Ali ditawari seorang dermawan bernama H. Djunaid untuk menunaikan haji ke Mekah. Walaupun dengan berat hati, kesempatan emas itu tidak ia sia-siakan.

Selain menunaikan haji, di Mekah Kyai Ali juga berguru kepada ulama-ulama besar di sana semisal Sayyid Alwi al-Maliki dan Sayyid Umar Hamdan. Di Mekah ia mendalami disiplin ilmu Hadis sekaligus memfasihkan bahasa Arabnya. Kyai Ali hanya dua tahun di Mekah. (Muhdlor, 1989: 17)

Di Indonesia saat itu situasi amat genting. Masa-masa transisi penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang serta perlawan bahu membahu oleh para pejuang untuk merebut kemerdekaan secara tidak langsung menipiskan animo banyak orang untuk belajar di pesantren. Pesantren asuhan K.H. Ma’shum di Lasem juga terkena imbasnya. Demikian pula pesantren Krapyak di bawah kepemimpinan K.H. Munawir. Kyai Ali yang sekembali dari Mekah berjuang mati-matian menghidupkan pesantren Lasem, akhirnya terpanggil juga untuk kembali ke Krapyak. Apalagi setelah K.H. Munawir wafat pada 1942, pesantren Krapyak semakin lengang. Akhirnya Kyai Ali hijrah ke Krapyak untuk “mengaktifkan” kembali pesantren mertuanya itu.

Langkah pertama yang ditempuh Kyai Ali adalah mengkader “ahlul bait“ keluarga Krapyak. Mereka adalah Abdul Qadir, Mufid Mas’ud, Nawawi Abdul Aziz, Dalhar, Zainal Abidin Munawir, Ahmad Munawir dan Achmad Warson Munawir. Kaderisasi ini dibenarkan oleh K.H. Zainal Abidin Munawwir, pengasuh pesantren Krapyak sekarang. Kyai Zainal menegaskan bahwa semasa dididik Kyai Ali dirinya “dipaksa” untuk bisa menguasai kitab-kitab kuning. Terhadap “ahlul bait”, tambah Kyai Zainal, Kyai Ali dikenal sangat keras. Hampir tak ada waktu untuk santai. Setiap “ahlul bait” selalu dipantau perkembangan ilmunya. Dalam pengamatan Kyai Ali membangun potensi keulamaan keluarga Krapyak patut diutamakan untuk membangkitkan aura kebesaran pesantren Krapyak di kemudian hari. Dan benar, apa yang dilakukan Kyai Ali telah menuai hasil yang menggembirakan. “Ahlul bait” yang digemblengnya di kemudian hari tampil menyemarakkan dinamika kehidupan di pesantren Krapyak. Bahkan Ahmad Warson Munawir berhasil menerbitkan kamus bahasa Arab al-Munawwir yang sampai sekarang menjadi kamus standar di dunia pesantren. Putranya sendiri, Attabik Ali bersama A. Zuhdi Muhdlor juga mampu menghasil kamus bahasa Arab kontemporer al-Asyri.

Di bawah asuhan Kyai Ali, pesantren Krapyak berkembang pesat. Perlahan-lahan pesantren Krapyak memiliki sarana pendidikan yang cukup komplit, yakni Taman Kanak-kanak, Madrasah Diniyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Takhassus dan Tahfidz al-Qur’an. Hingga demikian, terjadi keseimbangan antara pengajian al-Qur’an dan pengajian kitab-kitab kuning. (Muhdlor, 1989: 25) Santri hasil didikannya juga tersebar di berbagai daerah di Indonesia, bahkan sebagian [pernah] menjadi orang-orang penting di negeri ini. Keberhasilan Kyai Ali tidak terlepas dari ketelatenannya “mengawasi” para santri. Semua gerak-gerik santri selalu terpantau oleh Kyai Ali. Kedekatan dengan para santri menjadi ciri khas Kyai Ali. Kyai Ali gemar membangunkan santri untuk diajak shalat tahajud dan subuh secara berjamaah.

Dalam hal pengajian, hampir seluruh waktu Kyai Ali disediakan untuk mengajar dan mendidik santri. Sore hingga Isya mengajar santri dengan sistem bandongan. Sistem bandongan dilakukan dengan seorang kyai membaca kitab sementara para santri menyimak kitab yang sama untuk disyarahi. Dalam sistem ini yang aktif adalah kyainya. Santri lebih banyak mendengarkan penjelasan kyai terhadap materi yang dibaca. Jenis kitab yang dibaca Kyai Ali dengan sistem ini kebanyakan adalah kitab Tafsir, Hadis dan Fiqh. Sedang di pagi hari setelah subuh mengajar dengan sistem sorogan. Sistem ini kebalikan dari sistem bandongan. Di sini menuntuk keaktifan santri untuk membaca kitab, sedangkan kyai tinggal menyimak dan membenarkan jika bacaan tersebut salah. Sistem ini diyakini keampuhannya dalam membentuk kualitas keilmuan santri sebab santri dituntut untuk mempersiapkan banyak hal sebelum membaca kitab di hadapan kyai. Santri juga dilatih memberi penjelasan secara runtut terhadap apa yang dibaca dalam kitab. Dengan demikian, santri memiliki kesempatan luas untuk mengeksplorasi potensi keilmuan yang mendekam dalam dirinya. Di samping itu, Kyai Ali juga kerap menggelar pengajian selapanan (36 hari) yang diikuti oleh masyarakat umum.

Namun pada akhir Desember 1986, ketika memberi ceramah dalam rangka peringatan haul K.H. Bisri Mustafa di Rembang, seorang pemuda tiba-tiba menyerang Kyai Ali bertubi-tubi dengan menggunakan benda tajam. Tak ayal, Kyai Ali pun tersungkur dan segera dilarikan ke rumah sakit Rembang. Tragis. Setelah peristiwa itu kesehatan Kyai Ali terus menurun. Hingga ketika Muktamar NU tahun 1987 digelar di pesantren Krapyak, Kyai Ali hanya sanggup mengikuti dari bilik kamarnya. Dan pada 7 Desember 1989 Kyai Ali meninggal dunia saat menjalani perawatan di RSU Sardjito, Yogyakarta.

Tentang Habib Syekh bin assegaf

Habib Abubakar Bin Muhammad Assegaf (Gresik- Jawa Timur)
Contributed by Administrator
Monday, 29 September 2008
Last Updated Sunday, 10 May 2009
Habib Abubakar Bin Muhammad Assegaf
Silsilah beliau adalah : Habib Abubakar bin Muhammad bin Umar bin Abubakar bin Imam Wadi Al-Ahqaf Umar bin
Segaf bin Muhammad bin Umar bin Toha bin Umar Ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman
Assegaf bin Muhammad Mauladdawiliyah bin Ali bin Alwi Al-Ghuyyur bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin
Muhammad Sahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin ‘Ubaidillah bin
Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali-‘Uraidhi bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami
Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.
Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, beliau lahir di Besuki, Jawa Timur, pada tahun 1285 H. Cahaya kebaikan dan
kewaliannya telah nampak dan terpancar dari wajah beliau. Saat usia 3 tahun, beliau mampu mengingat semua kejadian
yang pernah terjadi pada dirinya. Semua itu karena kekuatan dan kejernihan hati beliau. Bersama ayahnya beliau pindah
ke Gresik. Tak lama kemudian, ayah beliau meninggal dunia di Gresik, saat itu habib Abubakar masih kecil. Mendengar
anaknya (Ayah Habib Abubakar) meninggal dunia, maka neneknya di Hadramaut, yaitu Hababah Fatimah binti Abdullah
‘Allan, meminta supaya cucunya ini (Habib Abubakar) dikirimkan ke Hadramaut. Maka, pada tahun 1293 H
dengan mengikut kenalan keluarga, yaitu, Syeikh Muhammad Bazemur, Habib Abubakar berangkat ke Hadramaut. Kala
itu Habib Abubakar masih berusia delapan tahun.
Sesampainya di Seiwun, Hadramaut, beliau disambut oleh pamannya, Al-Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Pertama
kali melihat Habib Abubakar, sang paman menyambut beliau dengan sangat gembira, seraya mengucapkan bait syair :
“Hati para auliya, memiliki ketajaman mata, mereka mampu memandang apa yang tidak dilihat oleh manusia
lainnya”. Pertama kali, Habib Abubakar tinggal di rumah paman beliau, Al-Habib Syekh bin Umar bin Segaf
Assegaf, seorang ulama yang disegani di Hadramaut. Habib Abubakar belajar ilmu fikih dan ilmu tasawuf kepada
pamannya. Setiap malam, beliau dibangunkan untuk bersama-sama menunaikan shalat tahajjud, walaupun waktu itu
beliau masih dalam usia kecil.
Habib Abubakar juga belajar kepada para ulama dan auliya’ di Seiwun, Hadramaut, antara lain : Al-Habib Ali bin
Muhammad Al-Habsyi (Shahibul maulid simthudurar), Al-Habib Muhammad bin Ali Assegaf, Al-Habib Idrus bin Umar Al-
Habsyi, Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, Al-Habib Abdurrahman Al-Masyhur, Al-Habib Syeikh bin Idrus Al-Aydrus,
dan lain-lain.
Saat pertama kali melihat Habib Abubakar, Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi telah melihat tanda-tanda kebesaran
dalam diri Habib Abubakar dan yakin bahwa Habib Abubakar, kelak akan menjadi seorang yang mempunyai kedudukan
yang tinggi, padahal saat itu Habib Abubakar dalam usia kanak-kanak. Jauh sebelum kedatangannya ke Hadramaut,
ketika itu Habib Abubakar masih di tanah Jawa, Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi berkata kepada salah seorang
muridnya, “Lihatlah mereka itu, mereka tiga orang besar, nama mereka sama, keadaan mereka sama, dan
kedudukan mereka sama. Yang pertama, sudah berada di alam barzakh, yaitu Al-Qutub Al-Habib Abubakar bin Abdullah
Al-Aydrus. Yang kedua, engkau sudah pernah melihatnya pada saat engkau masih kecil, yaitu Al-Qutub Al-Habib
Abubakar bin Abdullah Al-Attas Dan yang ketiga, engkau akan melihatnya di akhir umurmu.” Ketika murid tersebut
sudah menginjak usia senja, murid tersebut bermimpi melihat Nabi shallahu ‘alaihi wasalam dalam lima malam
berturut-turut. Dalam mimpinya itu, Nabi shalalluahu ‘alaihi wasalam menuntun seorang anak kecil sambil berkata
kepadanya, “Terdapat kebenaran bagi yang melihatku di setiap mimpinya. Telah aku hadapkan kepadamu
cucuku yang shaleh, yaitu Abubakar bin Muhammad Assegaf . Perhatikanlah ia.” Murid tersebut sebelumnya
belum pernah melihat Habib Abubakar, kecuali dalam mimpinya itu. Setelah ingatlah ia dengan perkataan gurunya, Al-
Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, yang mengatakan, “Lihatlah mereka itu, tiga auliya, nama mereka sama,
keadaan mereka sama dan kedudukan mereka sama.” Tidak lama setelah kejadian mimpinya itu, murid tersebut
meninggal dunia, tepat sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, bahwa ia akan
melihat Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf di akhir umurnya. Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf mendapat
perhatian khusus dan pengawasan yang istimewa dari guru beliau, Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad Al-habsyi,
sampai-sampai habib Ali sendiri yang meminangkan beliau sekaligus merayakan pernikahannya.
Pada tahun 1302 H. Habib Abubakar kembali ke Indonesia bersama Al-Habib Alwi bin Segaf dan langsung menuju
Besuki, kota di mana beliau lahir. Di kota tersebut beliau melakukan dakwah. Setelah menetap di Besuki selama tiga
tahun, pada tahun 1305 H, beliau pindah ke kota Gresik. Ketika itu usianya baru 20 tahun. Habib Abubakar juga belajar
dan mengambil ijazah kepada ulama dan auliya’ yang berada di Indonesia, diantaranya : Al-Habib Abdullah bin
Ali Al-Haddad (Bangil), Al-Habib Ahmad bin Abdullah Al-Attas (Pekalongan), Al-Habib Abubakar bin Umar bin Yahya
(surabaya), Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor
(Bondowoso).
Disaat menjelang akhir hayatnya, Habib Abubakar selalu mengatakan “Aku berbahagia untuk berjumpa dengan
Allah”. Beliau melakukan puasa selama 15 hari berturut-turut. Dan pada tahun 1376 H, Habib Abubakar bin
Muhammad Assegaf wafat dalam usia 91 tahun. Jasad beliau dimakamkan di samping Masjid Agung Jami’,
Gresik, Jawa Timur, bersanding dengan makam Al-Habib Alwi bin Muhammad Hasyim Assegaf.
NURUL MUSTHOFA [Al Habib Hasan Bin Ja'far Assegaf]
http://nurulmusthofa.org Powered by Joomla! Generated: 6 December, 2009, 07:31

"sejarah perguruan bhayu manunggal"

Sejarah Perguruan Bhayu Manunggal

Tata gerak, sistim latihan, gaya/style pertarungan yang diterapkan, secara teknis sangat memenuhi syarat untuk dimiliki dan melengkapi keterampilan pasukan perang. Murid- muridnya telah pula melatih Pasukan Komando TNI. Yaitu antara tahun 1968-1970,beberapa orang siswa keluarga perguruan Bhayu Manunggal melatih Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU Lanud Adisucipto Yogyakarta. Modellatihan ini merupakan awal masuknya Pencaksilat ke jajaran Pasukan Komando TNI.
Sejak masa muda, beliau terbiasa bersahabat dan bergaul dekat dengan tokoh-tokoh persilatan Nusantara dari daerah-daerah Jawa, Madura, Bali dan Sumatera. Beberapa tokoh tersebut berasal dari antara lain :JawaBarat – Daerah Banjar, Tasik, Banten, Pandeglang, Jawa Timur – Pacitan,Ponorogo, Bojonegoro dan Madura, Bali – Klungkung, Sumatra – Palembang,Pagarruyung (Minang dan Aceh). Juga para tokoh/praktisi seni beladiri lain dari luar Nusantara, misalnya di lingkungan klenteng Cina dan perkumpulan kung fu cina (sam bang po – Pathuk Yogyakarta) dan prajurit bala tentara Jepang. Pergaulan yang luas ini diantaranya mempengaruhi ciri-ciri ilmu yang diciptakannya di kemudian hari. Adalah hal biasa pula bagi beliau, menyebarkan ilmu kepada pribadi-pribadi muda, walaupun bukan muridnya sendiri. Ilmunya menyebar secara tidak langsung di dalam berbagai aliran perguruan Nusantara dan luar Negeri. Berdasarkan falsafahnya bahwa beladiri adalah kodrat makhluk hidup.
Manusia berhak belajar dan mengajar. Hal ini diantaranya yang mendasari sikap beliau dalam menyebarkan ilmunya. Hal ini pula yang pada suatu masa membawa beliau berada dan mengasuh salah satu Perguruan Historis IPSI.
Beliau sempat merintis pendirian laboratorium Pencak silat di Djogyakarta bersama-sama (alm) Ki Tarjonegoro(PHASADJA),(alm)Ki Poerwowarso (SHO), (alm)Ki Secodipoero (SHT), (alm) Ki Brototaryo (BIMA),dll.
Pada masa muda aktifitas perjuangannya melalui badan-badan organisasi diantaranya sebagai Ketua Badan Intelejen BPRI (Badan Pemberontak Republik Indonesia)Wilayah Djogjakarta yang didirikan oleh Bung Tomo. Dan aktif dalam kepengurusan PRN (Partai Rakyat Nasional) mendampingi Mr Djoedi Gondkoesoma (alm).
Pada antara tahun 1950 - 1965, ketika situasi politik sedemikian rupa, nuansanya secara perlahan merasuki perguruan beladiri negeri ini. Rasa “super” para tokoh perguruan pencak silat masing-masing ingin ditonjolkan namun kurang didukung dengan kemampuan berorganisasi, lambat laun hubungan didalam perguruan masing -masing tidak harmonis, akibatnya banyak perguruan di pulau Jawa yang pecah, khususnya di Yogya. Perguruan tua pecah menjadi beberapa perguruan.
MBah Djojo yang menyebarkan ilmu demi lestari dan berkembangnya seni beladiri bangsa ini, merasa gerah dan geram melihat situasi. Beliau kemudian menjaga jarak dan melepaskan diri dari lingkungan yang tak nyaman tersebut. Beliau sangat prihatin mengamati kehidupan generasi muda yang terkotak-kotak dalam bentuk kelompok-kelompok yang mencerminkan rapuhnya persatuan dan kesatuan bangsa. Padahal semasa mudanya semangat dan jiwa bangsa dibangun dengan mengorbankan jiwa raga para pejuang demi persatuan dan kesatuan bangsa tersebut. Ketika itu pintu perguruan Bhayu Manunggal tetap terbuka selebar-lebarnya bagi generasi muda yang berasal dari kelompok atau golongan manapun tanpa kecuali, dengan tujuan melestarikan tata beladiri sebagai seni budaya bangsa. Dalam kekecewaan tersebut, Ki Djojosoewito sempat bersikap dengan membentuk organisasi pencak silat antara lain ;
Pencak Ikhlasing Rasa Persatuan Indonesia (PERPI) – ( bukan
salah satu perguruan historis IPSI hanya sama nama ),
Rasa Manunggaling Timbuling Kasantosan (ROMANTIKA) dengan pengurus
Drs.V.Munandir(alm),Agus Sugeng SH, Prof.Dr.Ir.Joko Prayitno Msc).

Untuk lebih mempertegas sikap dalam rangka pengembangan organisasi dan atas desakan beberapa generasi muda siswa keluarga Bhayu Manunggal senior, yaitu : Ragil Sardjono(alm),Ir.Cahyo Suryono(alm), Agus Sugeng SH, Drs. Suharto, Mayor Drs. Hery Warso(alm), Drs.V. Munandir (alm) serta Ki Djojosoewito(alm) sebagai Guru Besar Perguruan maka pada hari Minggu Kliwon tanggal 26 Juli tahun 1970 Masehi, didirikan Pelopor Pencak Silat Indonesia disingkat POPSI sebagai wadah organisasi yang bebas dari nuansa politis, yang merupakan badan
organisasi dari Perguruan Bhayu Manunggal. Kata “Pelopor” diambil untuk menandai bahwa organisasi Perguruan Bhayu Manunggal bebas dari lingkungan atau kelompok yang bernuansa politik.

Saat itu, pada dekade akhir tahun 60an walaupun suhu politik meningkat dan situasi ekonomi memburuk dunia pencak silat negeri ini, seperti bangun dari tidur panjangnya. Pemerintah mulai memperhatikan seni budaya tata beladiri bangsa ini. Perguruan-perguruan persilatan tua walaupun telah telah terpecah berbenah diri, perguruan-perguruan muda pecahan dari berbagai aliran bermunculan, seiring dengan masuknya seni beladiri import berbagai aliran dari bangsa Asia. IPSI aktif membenahi sistim organisasinya. Demikian pula Perguruan Bhayu Manunggal. Sejak berdirinya POPSI, aktifitas organisasi meningkat. Oleh siswa-siswa senior didirikan cabang-cabang organisasi POPSI diberbagai daerah. Setiap event yang diselenggarakan IPSI diikuti sebagai wujud kebersamaan.


POPSI Bhayu Manunggal
Antara tahun 1970-1980. Setelah beberapa tahun berdirinya POPSI sebagai organisasi, para siswa keluarga Perguruan Bhayu Manunggal yang sudah lebih dahulu mendirikan organisasi, di inventarisasi, agar supaya kelak tidak kehilangan sumber ilmu. Berdasarkan kesepakatan organisasi, semua bersatu dalam satu bendera. Sebagai induk organisasi dibentuk Pengurus Besar POPSI Bhayu Manunggal. Kepengurusan pertama PB. POPSI Bhayu Manunggal di motori oleh tiga orang : Ir. Widodo, Drs. Warie Suharyanto, R. Subur BA.
Sejak saat itu Perguruan Bhayu Manunggal berkembang melalui organisasi
POPSI Bhayu Manunggal. Tidak berbeda dengan perguruan-perguruan Pencak
silat yang lain di Nusantara. POPSI Bhayu Manunggal menyebar kesemua
penjuru tanah air dan manca negara. Pada dekade kedua PB. POPSI Bhayu
Manunggal, jalannya organisasi POPSI Bhayu Manunggal semakin solid, motor
organisasi menjadi empat orang : Ir. Wododo, Drs. Warie Suharyanto, R.
Subur BA dan Ahmad Husein Indrajaya Bsc. Organisasi Perguruan sejak
berdirinya POPSI 1970, aktif mengikuti kegiatan persilatan
nasional/internasional . Beberapa siswa laga, dari beberapa daerah/ negara
selalu mewarnai persilatan nasional dan internasional.

Tercatat dalam pengembangan organisinya beberapa tempat latihan didirikan dan kurang dapat dikoordinasikan dengan baik antara lain :

1. Cabang Borobudur (Mas Bakri, mas Dorie)
2. Cabang Nusawungu-Kroya (Mas Imamudin)
3. Cabang Pati (Mas Bowo)
4. Cabang Wonosari – Dep. Transmigrasi, Kepek)
5. Cabang Babarsari (Mas Djoko Santosa – UPN)
6. Cabang Nanggulan, Sentolo (Mas Ngakoid)
7. Cabang Kauman Yogyakarta (Mas Kofa)
8. Cabang Brito Yogyakarta (Mas Yatno)
9. Cabang Bekasi (Mas Daryanto)
10. Cabang Tangerang (Mas Ichsan)

Beberapa cabang yang dengan baik masih berdiri sampai sekarang antara lain,
1. Cabang Sleman, tersebar di banyak ranting
2. Cabang Bendungan,Brosot - Kulonprogo
3. Cabang Sleman, Padepokan Gamping

Sesuai dengan falsafahnya, bahwa beladiri adalah kodrat makhluk hidup. Maka demikian pula penyebaran ilmu Bhayu Manunggal berlangsung alamiah, melalui para pribadi yang pernah berguru secara pribadi langsung kepada Ki Djojosoewito sejak Perguruan Bhayu Manunggal berdiri maupun melalui siswa-siswa senior setelah dibentuknya badan organisasi POPSI yang kemudian menjadi POPSI Bhayu Manunggal. Hingga kini masih banyak pribadi-pribadi yang memiliki ilmu Bhayu Manunggal belum terjangkau oleh komunikasi Keluarga Besar Bhayu Manunggal baik di tanah air maupun di luar negeri. Sangat disayangkan apabila suatu saat kelak ilmu Bhayu Manunggal sebagai asset peradaban manusia yang diciptakan oleh mendiang Ki Djojosoewito larut oleh zaman, lenyap tak berbekas. Sebagai penutup dari sejarah perguruan ini, untuk pengeling-eling weling Sang Guru Besar bahwa Perguruan Bhayu Manunggal bersandar dan berlindung kepada Tuhan yang Maha Kuasa bersifat kekeluargaan dengan organisasi Pelopor Pencak Silat Indonesia (POPSI) yang tidak bernaung di dalam organisasi atau partai politik manapun. Weling yang wajib direnungi setiap insan Bhayu Manunggal, dalam melestarikan tinggalane sang Guru.

Pada bulan September hari Minggu Legi tahun 2001 Masehi, Ki Djojosoewito alias Pandita Dharmowiryo, Guru Besar Perguruan / Pencipta Ilmu Bhayu Manunggal tutup usia setelah sakit sepuh beberapa waktu. Meninggalkan ilmu Bhayu Manunggal pada para muridnya yang tersebar dipersada Nusantara ini dan luar Nusantara, dimana sebagian besar para murid tersebut belum berkomunikasi bahkan diantaranya belum saling mengenal. Sepeninggal beliau adalah merupakan kewajiban para murid tersebut untuk memelihara, melestarikan ilmu yang dimiliki masing – masing sebagai khasanah budaya bangsa yang diharapkan kemudian dapat diserahkan pada generasi berikut dari bangsa ini.

Dipetik dari tulisan raka : Warie Suharyanto

GOOD. . .

"perguruan bhayu manunggal"

Saturday, July 28, 2007

GURU BESAR POPSI BHAYU MANUNGGAL


Guru Besar POPSI “Bhayu Manunggal” Yogyakarta
Pandita Dharmawirya Ki DJOJO SOEWITO


Lahir dan dibesarkan di lingkungan kampung Prawirotaman. Pelajaran pencak silat yang diterima oleh beliau pada saat itu masih berupa sistim silat pesantren , yang bertumpukan pada jurus dan wiridan. Hal ini masih berlanjut sampai pada saat eyang merantau kedaerah-daerah Jawa, Madura, Bali dan Sumatera. Beberapa daerah yang pernah disinggahi dalam perantauan Eyang untuk memperdalam ilmu pencak silat antara lain:
Jawa Barat – Daerah Banjar, Tasik, Banten, Pandeglang
Jawa Timur – Pacitan, Ponorogo, Bojonegoro dan Madura
Bali – Klungkung
Sumatra – Palembang, Pagarruyung (Minang dan Aceh)
Beberapa sekolah yang pernah diajar Eyang antara lain : SMP N II Bantul, STM Yapera Jogjakarta, SPBMA MM’52 Jogjakarta (1952-1967), SPBMA Indonesia Jogjakarta (1975-), SPBMA PGRI Sleman (1978-)
STIPER (INSTIPER) Jogjakarta.


Kegiatan Organisasi, diantaranya:
-Ketua Badan Inteljen BPRI (Badan Pemberontak Republik Indonesia)Wilayah jogjakarta yang didirikan oleh Bung Tomo.
-Aktif dalam kepengurusan PRN (Partai Rakyat Nasional) mendampingi Mr Djoedi Gondkoesoma (alm).
-Dalam rangka pembinaan laboratorium pencak silat di jogjakarta, beliau turut merintis pendirianya bersama-sama Alm. Bp Tarjonegoro (PASADJA), Alm. Bp Poerwowarso (SHO), Alm.Bp Secodipoero (SHT), Alm.Bp Brototaryo (BIMA),dll.



Thursday, July 26, 2007

GALERY PHOTO WISUDA DAN TASYAKURAN POPSI BHAYUMANUNGGAL, NGAMBOH 21 JULI 2007

GALERY PHOTO WISUDA DAN TASYAKURAN POPSI BHAYUMANUNGGAL, NGAMBOH 21 JULI 2007